Sejarah Lengkap Ayu Lembah Selingkuh Dari Raja Amangkurat III

Ayu Lembah ialah seorang Permaisuri dari Kesultanan Kertasura Mataram, dia sendiri sebagai putri dari Pangeran Puger, permaisuri ini meninggal dunia dengan tragis karena ketahuan selingkuh dengan seorang lelaki muda anak Patih Sindureja.

Permaisuri Selingkuh Dari Raja Amangkurat III

Perselingkuhan Ayu Lembah dengan anak Patih Kerajaannya ini diceritakan dalam babad tanah Jawi. Ayu Lembah semenjak muda telah dinikahi oleh Raden Mas Sutikna, seorang Adipati Anom di Kesultanan Kertasura Mataram.

Raden Mas Sutikna ialah anak dari Amangkurat II, hingga saat ayahnya meninggal dunia, dia meneruskan tahta sebagai Raja di Kesultanan Kertasura. Saat jadi Raja Kertasura, Raden Mas Karunia bergelar Sri Susuhunan Amangkurat Mas, dalam sejarah Amangkurat Mas ini juga dikenal sebagai Amangkurat III.

Dengan diangkatnya Raden Mas Sutikna jadi seorang Raja, karena itu secara otomatis Ayu Lembah naik posisinya menjadi seorang Permaisuri. Dia menjelma jadi seorang wanita memiliki pengaruh di Keraton selain Raja, dia disegani dan tidak ada sesiapapun yang berani menentang permohonannya.

Awal Mula Perselingkuhan Terjadi

Tidak diterangkan tentang pertama kali mengapa Ayu Lembah berselingkuh, namun berdasarkan catatan sejarah, dia menikah dengan ponakannya Mas Sutikna bukan atas dasar cinta, tetapi karena perjodohan keluarga, karena demikianlah secara umum wanita tempo dahulu walau dia seorang ningrat.

Disamping itu, perselingkuhan Ayu Lembah dengan anak patih kerajaannya itu ada kemungkinan disebabkan karena ketidak puasannya pada pelayanan jasmaniah dan batiniah yang diberi suaminya. Seperti didapati jika Amangkurat III ini diceritakan sebagai lelaki angkuh tidak ada romantis-romantisnya, disamping itu Amangkurat III dikenal juga sebagai Raja yang fisiknya cacat, oleh karenanya Raja ini dipanggil sebagai Pangeran Kencet, karena dia cacat semenjak lahir.

Kesepian dan minimnya belaian lelaki membawa Ayu Lembah untuk bertualang cari figur lelaki yang bisa penuhi keinginan jasmaniah dan batiniahnya. Keinginan ini makin ringan diwujudkan karena dia seorang Permasiuri, figur manusia paling kuat ke-2 sesudah Raja yang kehendaknya bisa gampang diraih jika dia mengharapkan sesuatu.

Ayu Lembah Menemukan Raden Sukra

Sesudah lewat pengamataan, Ayu Lembah pada akhirnya mendapati figur lelaki yang dia anggap bisa penuhi biarahinya, lelaki itu namanya Raden Sukra, anak Patih Sindureja yang saat itu umurnya masih terbilang muda.

Walau pada awalnya enggan, Raden Sukra ternyata tidak dapat melakukan perbuatan apapun, dia tidak sanggup menampik ajakan Permaisuri Rajanya, karena menampik keinginan seorang Permaisuri bermakna cari mati.

Jalinan gelap di antara Lembah Ayu dan abdinya itu terus terikat, dijalankan dengan penuh rahasia, namun perselingkuhan yang sudah dilakukan penuh rahasia itu pada akhirnya dibongkar, karena saat ke-2 nya sedang bercinta, Amangkurat III mendapatinya dan mengetahuinya.

Meninggalnya Raden Sukra Dan Ayu Lembah

Dibongkarnya kasus perselingkuahan Ayu Lembah dengan Raden Sukra ini selanjutnya membuat gempar Istana, dan dipandang seperti citra jelek yang mencoret kewibawan kerajaan. Setelah ketahuan, nasib ironis selanjutnya menerpa Raden Sukra, dia dibunuh dengan tragis oleh penjaga kerajaan.

Sama persis dengan nasib Raden Sukra yang ironis, nasib Lembah Ayu juga begitu, namun proses meninggalnya sedikit lebih bagus. Sebelumnya Ayu Lembah diceriakan, Kedudukan kepermaisuriannya ditarik, selanjutnya dia diberikan ke ayahnya Pangeran Puger.

Amangkurat III memerintah pamannya Pangeran Puger untuk membunuh anaknya sendiri. Pada tangan Ayahnya sendiri tersebut Ayu Lembah menjumpai ajalnya. Demikianlah nasib dari Ayu Lembah Permaisuri Raja Kesultanan Kertasura yang ketahuan slingkuh.

Sesudah Kematian Ayu Lembah, Amangkurat III Menjadi Raja Hanya 2 Tahun

Amangkurat III yang memiliki nama asli Raden Mas Sutikna ialah Sultan Kesunanan Kartasura Mataram yang memerintah seumur jagung. Pendeknya periode pemerintahannya karena turut serta perselisihan dengan Belanda, beliau meninggal dunia karena dibuang ke Srilangka pada 1734 setelah Kesultanan yang dipegangnya ditaklukan oleh Belanda.

 

Raden Mas Sutikna ialah anak salah satu Amangkurat II, istri lainnya dari Amangkut II dimantrai oleh ibu Raden Mas Sutikna hingga tidak ada satu juga yang mempunyai turunan. Raden Mas Sutikna saat masih terbilang muda dipanggil bernama Pangeran Kencet, dipanggil begitu karena dia menanggung derita cacat (kencet) di bagian tumitnya semenjak kecil.

Karakter Amangkurat III diceritakan serupa dengan kakeknya (Amangkurat I), dia berkarakter jelek, gampang geram dan cemburu jika ada pria yang lain lebih ganteng darinya, dia dikenal juga sebagai Raja yang ceroboh dalam memutuskan.

Saat sebelum jadi Raja Kasunanan Kartasura, Raden Mas Sutikna memegang sebagai Adipati Anom, dia memperistri ponakannya sendiri yang namanya Raden Ayu Lembah, anak Pangeran Puger. Tetapi pernikahannya dengan Ayu Lembah tidak tahan lama, karena istrinya berselingkuh dengan Raden Sukra, putra Patih Sindareja.

Bencana perselingkuhan itu selanjutnya mengakibatkan Raden Sukra dijatuhkan hukuman mati, sementara Ayu Lembah sendiri ternyata memiliki nasib sama, Amangkurat III memaksakan pamannya Pangeran Puger untuk membunuh Ayu Lembah, putrinya sendiri.

Amangkurat III Menikahi Raden Ayu Himpun

Setelah kejadian itu, Amangkurat III menikah kembali dengan Raden Ayu Himpun, adik dari Ayu Lembah, namun kembali lagi pernikahan ini gagal ditengah-tengah jalan. Amangkurat III menceriakan Ayu Himpun karena saat itu Pangeran Puger dipandang lakukan pemberontakan pada Amangkurat III.

Amangkurat III selanjutnya mengusung Permaisuri baru, ini kali dia mengawini wanita dusun yang gadis wanita itu diceritakan diambil dari Dusun Onje.

Perilaku Amangkurat III yang semena-mena dan ceroboh dalam memutuskan membuat beberapa petinggi Istana tak lagi sukai ke Rajanya. Sembunyi-sembunyi mereka memberikan dukungan Pangeran Puger menjadi Raja di Kertasura, support ini selanjutnya disikapi oleh Raden Surya Kusumo yang tidak lain sebagai putra Pangeran Puger untuk lakukan perlawanan.

Belum terwujud, usaha perlawanan yang dilancarkan keluarga Pangeran Puger tercium oleh Amangkurat III, maka dari itu, Raja selanjutnya mengirimi utusan untuk membunuh Pangeran Puger dan semua keluarganya, namun usaha pembunuhan tidak berhasil.

Pangeran Puger Mengetahui Akan Dibunuh

Karena saat sebelum dibunuh Pangeran Puger sudah mengetahui gagasan pembunuhan keluarga dan dianya. Dalam rencana menghindar usaha pembunuhan, Pangeran Puger dan semua anggota keluarganya larikan diri ke Semarang.

Di Semarang Pangeran Puger diliputi kegundahan sebab menganggap jiwanya terancam, dia takut satu waktu sepupunya menggempur Semarang, maka dari itu Pangeran Puger selanjutnya melangsungkan persekutuan dengan VOC Belanda, dia mengimingi VOC dengan keuntungan besar jika siap menolongnya melengserkan sepupunya dari tahta. Kerja sama di antara Pangeran Puger dan VOC selanjutnya terbina.

Di tahun 1705 Pangeran Puger dengan ditolong VOC mengarah ke Kartasura untuk lakukan gempuran, di lain sisi Amangkurat III membuat pertahannya di Unggaran. Pertahanan dipimpin oleh Arya Mataram. Namun masa datang Arya Mataram membelot dia tergabung dengan pasukan Pangeran Puger.

Pada Tahun 1706 kombinasi pasukan Pangeran Puger, Arya Mataram dan VOC Belanda sukses merampas keraton Kertasura sesudah turut serta peperangan yang seru dengan faksi Kesultanan. Meskipun begitu Amangkurat III sukses larikan diri ke Ponorogo.

Karakter Amangkurat III

Sesampai di Ponorogo bukanlah berbaik-baik dengan Adipati-nya, Amangkurat III malah berasa berprasangka buruk pada kesetiaan rakyat dan Adipati Ponorogo. Dia juga menganiaya Adipati dan beberapa petinggi tinggi Keadipatian.

Menyaksikan Adipatinya disiksa Rakyat Ponorogo berontak, mereka lakukan pengepungan, maksudnya tangkap Amangkurat III, namun Amangkurat III sukses larikan diri ke Madiun. Dari Madiun Amangkurat III selanjutnya berangkat ke Kediri, untuk tergabung dengan Untung Suropati yang saat itu sedang bereprang menantang VOC Belanda.

Pangeran Puger yang belum senang kerena belum sukses membekuk sepupunya pada akhirnya memperlancar gempuran ke Kediri, dia coba memberantas pasukan Amangkurat III yang saat itu telah tergabung dengan Untung Suropati.

Pada Tahun 1708 Pangeran Puger sukses merampas Kediri, Amangkurat III ketangkap, sementara Untung Suropati sukses larikan diri. Sesudah ketangkap Amangkurat III dikirimkan ke Batavia dan seterusnya di buang ke Srilangka. Amangkurat III meninggal dunia di tahun 1734 pada tempat pembuangannya.

Amangkurat III memegang sebagai Sultan Kesunanan Kartasura dari tahun 1703 sampai 1705, ini memiliki arti dia cuma memerintah seumur jagung saja, yakni cuma memerintah sepanjang dua tahun semakin sedikit. Kekalahan Amangkurat III selanjutnya mengantar Pangeran Puger jadi Raja Kartasura seterusnya, adapun gelar yang dipasangkan ke Pangeran Puger ialah Pakubwana I.

Pakubuwana I Di Angkat Jadi Raja Serta Ini Keturunannya

Pakubuwana I ialah Raja Kasunanan Surakarta (Solo), nama aslinya Raden Mas Drajat, disamping itu beliau dikenal juga bernama Pangeran Puger. Perlu dimengerti jika dalam sejarah Mataram, nama Pangeran Puger ini bukan hanya mengarah pada Pakubuwana I saja, karena awalnya ada pula figur yang disebutkan Pangeran Puger (Putra Panembahan Senopati).

 

Pakubuwana I sebagai anak Amangkurat I (Raja Mataram Paling akhir) dan dari permaisuri turunan Keluarga Kejoran, yakni cabang keluarga turunan Kesultanan Papang.

Dia dipilih jadi putra mahkota sesudah kakaknya Raden Mas Karunia (Nantinya jadi Amangkurat II) yang sebenarnya memiliki hak atas tahta melawan ke ayahnya sendiri bersama Trunojoyo. Walau demikian Raden Mas Karunia nanti kembali tergabung dan bela ayahnya untuk membasmi Trunojoyo.

Setelah Kesultanan Mataram remuk karena perlawanan Trunojoyo. Kakak Pakubuwana I dipilih jadi Raja kerajaan baru yang dinamakan Kasunanan Surakarta (Solo), seterusnya setelah kakaknya mangkat, yang mewariskan tahta kerajaan ialah Amangkurat III, anak dari Amangkurat II. Tetapi barusan memerintah sepanjang 2 tahun, Amangkurat III digulingkan, seterusnya sebagai Raja ke tiga di Kasunanan Surakarta ialah Pakubuwana I.

Pakubuwana I bertaha jadi Raja di Kasunanan Surakarta dari tahun 1704-1719, dengan begitu belaiau memegang sebagai Raja sepanjang 15 tahun.

Sepanjang memerintah Kasunanan Surakarta (1704-1719) keadamaian kembali menyelimutinya daerah Mataram, ini karena dalam memerintah Pakubuwana I dikenali sebagai raja yang arif dan penuh pemikiran, disamping itu raja ini banyak juga dicintai oleh beberapa petinggi kerajaan dan rakyat karena tidak bertangan besi.

Di saat jadi Raja, Raden Mas Drajat digelari dengan “Sampeyang Dalam Hingkang Sinuhun Kanjeng Suuhunan Pakubuwana Senapati Ingalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa”.

Berdasar titelnya, dapatkah dimengerti jika Pakubuwana I mengkalim diri sebagai Khalifah Islam di Tanah Jawa, atau pimpinannya beberapa orang Islam di Pulau Jawa. Setelah memerintah sepanjang 15 tahun, Pakubuwana I meninggal dunia di tahun 1719, beliau selanjutnya disemayamkan di Astana Pakubwanan, Imogiri Yogyakarta.

Selama hidupnya Pakubuwana I mendapat banyak turunan, adapun keturunan Pakubuwana I adalah sebagai berikut:

  1. Kyai Adipati Nitiadiningrat I Raden Garudo (groedo) [Pakubuwono]
  2. Tumenggung Honggowongso / Joko Sangrib (Kentol Surawijaya / Hangabehi Hangawangsa) [Arungbinang]
  3. Pangeran Adipati Purbaya / Gusti Panembahan Purbaya (Raden Mas Sasangka0
  4. Gusti Pangeran Haryo Adipati Diponegoro Madiun / Raden Mas Papak (Panembahan Eru Chokro Senopati Panatagama)
  5. Gusti Bendoro Pangeran Haryo Blitar / Sultan Ibnu Mustafa Paku Buwana (Raden Mas Sudhomo)
  6. Gusti Pangeran Haryo Pamot
  7. Gusti Pangeran Haryo Prangwedono / Raden Mas Ontowiro (Raden Mas Kawa)
  8. Gusti Kanjeng Ratu Timur
  9. Bendoro Raden Ayu Ronggo Prawirodirjo
  10. Gusti Bendoro Raden Ajeng Demes / Kanjeng Ratu Maduretno (Gusti Kanjeng Ratu Ayunan)
  11. Gusti Bendoro Raden Ayu Mataun
  12. Gusti Raden Mas Suryokusumo / Gusti Pangeran Haryo Ngabehi Salor ing Pasar (Raden Mas Sudhiro)
  13. Raden Ayu Himpun
  14. Bandoro Raden Ayu Manis
  15. Prabu Amangkurat IV (Mangkurat Jawi) / Raden Mas Suryaputra (Prabu Mangkurat Jawa)
  16. Raden Mas Sengkuk [Mataram]
  17. Raden Ayu Lembah
  18. Pangeran Diposonto / Ki Ageng Notokusumo / Raden Martataruna (Raden Mas Mesir)

Delapan belas anak Pakubuwana I itu lahir dari satu orang permaisuri dan empat orang selir, yakni Ratu Mas Blitar / Ratu Pakubuwono, Raden Ajeng Sendhi, Mas Ajeng Tejawati, Mas Ajeng Retnowati, dan Mas Ayu Tjondrowati.

Itulah seputar sejarah di Kesultanan Kertasura Mataram yang di dalamnya ada tokoh Ayu Lembah, Amangkurat III dan Pangeran Puger.

Pendiri Keraton Surakarta Pakubuwana II

 

Sri Susuhunan Pakubuwana II ialah raja Kesultanan Mataram ke-9 yang bertakhta di antara 1726-1749, masa pemerintahannya melihat beragam gejolak besar yang makin lemahkan Kesultanan Mataram. Disamping itu, Pakubuwana II dikenali sebagai raja yang membangun Keraton Surakarta.

Sejarah Pakubuwana II

 

Pakubuwana II ialah putra Amangkurat IV, yang lahir pada 8 Desember 1711, dinamakan Raden Mas Probosuyoso. Ibunya bertitel Ratu Amangkurat atau Ratu Mas Kadipaten, seorang permaisuri turunan Sunan Kudus.

Raden Mas Probosuyoso naik takhta pada 15 Agustus 1726 di umur yang masih terbilang muda, yaitu 15 tahun. Saat dikukuhkan sebagai alternatif ayahnya, Raden Mas Probosuyoso malah menggunakan gelar Sri Susuhunan Pakubuwana II, ikuti kakeknya.

Penobatannya selanjutnya dituruti dengan pembangunan dua tim bersimpangan di kelompok petinggi keraton, yang sama ingin mempengaruhi raja yang masih muda. Tim pertama dipelopori Ratu Amangkurat, yang berteman dengan VOC, sementara tim Patih Cakrajaya benar-benar anti pada VOC.

Pakubuwana II Kabur Ke Ponorogo

Pada periode pemerintah Pakubuwana II, terjadi kekacauan yang disebabkan perlawanan etnis Tionghoa dari Batavia pada Belanda atau dikenali sebagai kejadian Gempar Pacinan. Kejadian yang berekor panjang sampai 1743 ini selanjutnya punya pengaruh pada Kerajaan Mataram yang terpusat di Kartasura.

Sebelumnya, Pakubuwana II memihak ke golongan pemberontak Tionghoa karena hubungan dengan Belanda tak lagi baik. Namun, ketidakberhasilan penguasaan Semarang di awal 1742 mengakibatkan Pakubuwana II berbeda sikap dan bersekutu kembali dengan Belanda.

Ini membuat etnis Tionghoa dan warga Mataram berasa sedih. Mereka lalu mengusung Mas Garendi atau Sunan Kuning (cucu Amangkurat III) secara sepihak, sebagai raja Mataram alternatif Pakubuwana II.

Mas Garendi, yang bertitel Amangkurat V, selanjutnya menggempur Keraton Kartasura dan sukses menguasainya pada 30 Juni 1742. Mengakibatkan, Pakubuwana II dengan keluarganya mau tak mau larikan diri ke Ponorogo, ditemani oleh Kapten Johan Andries van Hogendorff.

Membangun Keraton Surakarta

 

Sesudah Amangkurat V dilengserkan dan perlawanan bisa dikontrol oleh Belanda, Pakubuwana II kembali lagi ke Kartasura pada November 1742. Namun, perlawanan Amangkurat V sudah mengakibatkan istana Mataram di Kartasura hancur.

Sesudah lewat pemikiran dan penelusuran lokasi, Pakubuwana II mantap mengalihkan istananya ke Dusun Sala. Istana baru yang selanjutnya dikenali sebagai Keraton Surakarta ini dibuat pada 1744 dan memulai dihuni pada 1746.

Tetapi, masa pemerintah Pakubuwana II tidak bisa jalan damai karena selalu dibayang-bayangi oleh Belanda. Akhirnya, rekayasa di kelompok beberapa bangsawan Mataram terus terjadi dan Pakubuwana II terus dipaksa Belanda.

Akhir Dari Pakubuwana II

Karena terus diterpa beragam masalah intern dan external, keadaan kesehatan Pakubuwana II makin menurun. Pada 11 Desember 1749, Pakubuwana II pada akhirnya tanda-tangani kesepakatan dengan Belanda, yang oleh beberapa sejarawan dikatakan sebagai titik awalnya lenyapnya kedaulatan Mataram.

Bisa dibuktikan semenjak ada kesepakatan ini, cuma Belanda yang memiliki hak mengangkat beberapa raja di Kasunanan Surakarta. Pakubuwana II pada akhirnya meninggal dunia pada 20 Desember 1749 dan kemudian disemayamkan di Imogiri, Yogyakarta.

Takhta kerajaan selanjutnya jatuh ke tangan putranya, yang memerintah dengan gelar Pakubuwana III.

Sejarah Pakubuwana III

Sri Susuhunan Pakubuwana III ialah raja Kasunanan Surakarta yang bertakhta di antara 1749-1788. Jadi raja Jawa pertama kali yang dikukuhkan oleh Belanda, periode pemerintahannya diwarnai dengan bermacam perselisihan intern di kelompok keluarga keraton.

Walau begitu, periode kekuasaan Pakubuwana III bisa bertahan sepanjang nyaris empat dasawarsa, sampai akhir hayatnya.

Asal Pakubuwana III

 

Nama kecil Pakubuwana III ialah Raden Mas Suryadi. Dia terlahir di Kartasura pada 24 Februari 1732, putra dari Pakubuwana II dan GKR Hemas, putri Pangeran Purbaya Lamongan. Saat umurnya 17 tahun, Raden Mas Suryadi dikukuhkan jadi raja oleh Belanda, untuk gantikan Pakubuwana II yang meninggal dunia karena sakit.

Ini bisa muncul karena waktu itu daerah Surakarta sudah jadi punya VOC, sama sesuai persetujuan dengan Pakubuwana II. Semenjak dikukuhkan oleh Baron von Hohendorff pada 15 Desember 1749, Raden Mas Suryadi sah memiliki gelar Sri Susuhunan Pakubuwana III.

Dengan demikian, Pakubuwana III jadi raja Jawa pertama kali yang dikukuhkan atau di angkat dan di lantik oleh petinggi VOC.

Perlawanan Pangeran Mangkubumi

Pengukuhan Pakubuwana III ditempatkan pada masalah politik dan persaingan perebutan kekuasaan. Masalahnya saat itu Pangeran Mangkubumi (adik Pakubuwana II) dan Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa (sepupu Pakubuwana II) bekerja bersama untuk melawan pada Kasunanan Surakarta.

Perlawanan Pangeran Mangkubumi meledak semenjak 1746, karena tidak searah dengan Pakubuwana II yang terlampau kuat dengan VOC.

Bahkan juga pada 12 Desember 1749, Pangeran Mangkubumi secara sepihak memproklamirkan diri sebagai penerus Pakubuwana II dengan Raden Mas Said sebagai mahapatihnya. Hingga saat itu sempat ada dua Pakubuwana III.

Hal tersebut membuat Pakubuwana III terjerat pada kondisi benar-benar susah. Kesepakatan yang dibikin ayahnya dengan Belanda membuat dianya runduk pada tiap keputusan VOC.

Masuk tahun 1752, Belanda selekasnya jalankan taktiknya saat mencium ada pemecahan di antara Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said.

Pada akhirannya, perlawanan Pangeran Mangkubumi bisa dituntaskan dengan Kesepakatan Giyanti yang diberi tanda tangan pada 13 Februari 1755. Kesepakatan itu membagikan daerah Mataram jadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta untuk Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi bertakhta di Yogyakarta dengan gelar Hamengkubuwono I.

Raden Mas Said

Lahirnya Kesepakatan Giyanti membuat Raden Mas Said sedih dan terus lakukan perlawanan untuk melengserkan Pakubuwana III.

Belanda selanjutnya jalankan taktik yang serupa, yaitu dengan melangsungkan Kesepakatan Salatiga pada 17 Maret 1757. Dalam kesepakatan ini, daerah Kasunanan Surakarta dipisah jadi dua. Raden Mas Said selanjutnya membangun Kadipaten Mangkunegaran dengan gelar Mangkunegara I.

Hingga pada periode pemerintahannya, Pakubuwana III melihat Kesultanan Mataram terdiri jadi tiga, yakni Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, dan Kadipaten Mangkunegaran.

Kematian Pakubuwana III

Walau dua perlawanan besar yang didalangi oleh familinya sudah sukses dituntaskan, Pakubuwana III harus menahan perlawanan kecil di daerah timur kekuasaannya. Seperti awalnya, dalam menangani perlawanan itu Pakubuwana III masih tetap jadi raja boneka yang runduk ke Belanda.

Sikapnya itu bisa dibuktikan sanggup jaga takhtanya dalam kurun waktu lumayan lama. Di lain sisi, hubungan dengan Belanda sering memantik masalah dalam keraton dan banyak yang menganggap tidak mahir memerintah.

Sepanjang hidupnya, Pakubuwana III dijumpai mempunyai 14 orang istri dan 46 orang anak.

Pemerintah Pakubuwana III usai pada saat kesehatannya makin turun dan meninggal dunia pada 26 September 1788 di Surakarta. Mayatnya selanjutnya disemayamkan di Imogiri, Yogyakarta.